Saat itu, bertepatan dengan siklus ombak Bono. Kapal saudagar Nasir itu singgah, sebelum melanjutkan perjalanannya menuju Kuala Kampar. Oleh masyarakat setempat, saudagar itu sudah diingatkan akan adanya ombak Bono.
Namun, ia tak percaya dengan hal mistis seperti itu. Hingga akhirnya dirinya harus berhadapan dengan ganasnya ombak Bono sampai tewas dan dimakamkan di desa.
"Saat itu kami sudah memperingati bahwa akan ada Bono. Pak Nasir namanya yang baru saja singgah akan menuju Kuala Kampar yang bertepatan pada 16 bulan Bono. Engak percaya akan Bono, 2 ton muatannya habis dan (dia) dimakamkan di sini," kata Muhammad Yusuf (60), salah satu ninik mamak dari suku Piliang yang merupakan warga asli Teluk Meranti kepada Riauonline.co.id.
Bono Jantan dan Betina
Bono merupakan gelombang atau ombak yang terjadi di Muara Sungai Kampar, Kabupaten Pelalawan, Riau. Ombak Bono Sungai Kampar merupakan suatu fenomena alam akibat adanya pertemuan arus sungai menuju laut dan arus laut yang masuk ke sungai akibat pasang.
Biasanya ombak atau gelombang hanya terjadi di tepi pantai atau laut ataupun danau yang luas akibat perubahan arus air dan angin.
Ombak yang berukuran cukup besar ini dimanfaatkan wisatawan untuk bermain selancar. Maka, jika melihat orang berselancar di pantai adalah suatu hal yang sudah biasa, tetapi melihat orang berselancar di arus sungai adalah suatu hal yang luar biasa. Bono terbesar biasanya terjadi ketika musim penghujan di mana debit air Sungai Kampar cukup besar yaitu sekitar bulan November dan Desember.
Terdapat dua lokasi di Provinsi Riau tempat munculnya ombak Bono, yaitu di Muara (Kuala) Sungai Kampar Kabupaten Pelalawan dan di Muara (Kuala) Sungai Rokan di Kabupaten Rokan Hilir. Masyarakat setempat menyebut Bono di Kuala Kampar sebagai Bono Jantan karena lebih besar, sedangkan Bono di Kuala Rokan sebagai Bono Betina karena lebih kecil.
Bono di Kuala Kampar tersebut berjumlah tujuh, bentuknya mirip kuda yang biasa disebut dengan induk Bono. Inilah sebabnya Pemda Pelalawan menamakan kegiatan berselancar di atas Ombak Bono disebut Bekudo Bono yang diambil dari bahasa daerah, artinya menunggangi Ombak Bono.
Pada musim pasang mati, bono jantan akan pergi ke Sungai Rokan untuk menemui bono betina. Kemudian bersantai menuju ke selat Malaka. Itulah sebabnya ketika bulan kecil dan pasang mati, bono tidak ditemukan di kedua sungai tersebut.
Jika bulan mulai besar, kembalilah Bono ke tempat masing-masing, lalu main di sungai Kampar dan sungai Rokan. Semakin penuh bulan di langit, semakin gembira bono berpacu kedua sungai itu. Muara Sungai Bono yang disebut penduduk sebagai Kuala Kampar memiliki ombak Bono yang dapat mencapai ketinggian 6-10 meter.
Upacara Melewati Ombak Bono
Menurut cerita Melayu lama berjudul Sentadu Gunung Laut, setiap pendekar Melayu pesisir harus dapat menaklukkan ombak Bono untuk meningkatkan keahlian bertarung mereka. Hal ini dapat masuk akal karena "mengendarai" Bono intinya bisa menjaga keseimbangan badan, di luar masalah mistis.
Dahulu, karena masih ada sifat mistis di lokasi tersebut, maka untuk mengendarai Bono harus dengan upacara "semah" yang dilakukan pagi atau siang hari. Upacara dipimpin oleh Bomo atau Datuk atau tetua kampung dengan maksud agar pengendara Bono selalu mendapat keselamatan dan dijauhkan dari segala marabahaya.
Selain itu, ada cerita mistis yang berhubungan dengan gelombang Bono ini yaitu cerita tentang Banjir Darah di Mempusun atau Mempusun Bersimbah Darah dan terbentuknya Kerajaan Pelalawan 1822 Masehi.
Sekarang, masyarakat sekitar Kuala Kampar menganggap Bono sebagai "sahabat alam". Penduduk yang berani akan "mengendarai" Bono dengan sampan mereka tidak dengan menggunakan papan selancar pada umumnya. Mengendarai sampan di atas ombak Bono menjadi suatu kegiatan ketangkasan.
Namun, kegiatan ini memiliki risiko tinggi karena ketika salah mengendarai sampan, maka sampan akan dapat dihempas oleh ombak Bono, tak jarang yang sampannya hancur berkeping-keping.
Reprensi
https://cdn0-production-assets-kly.akamaized.net/logos/12/original/004648400_1514358873-RIAUONLINE.png