Santet adalah upaya seseorang untuk mencelakai orang lain dari jarak jauh dengan menggunakan ilmu hitam. Biasanya santet sering dilakukan orang yang mempunyai dendam karena sakit hati kepada orang lain. Santet dapat dilakukan sendiri maupun dengan bantuan seorang dukun.
Pasal santet
Pasal santet
merupakan sebutan dari sebuah undang-undang di Indonesia yang ditujukan kepada seseorang didakwa melakukan santet atau tindakan merugikan lainnya yang menggunakan ilmu sihir. Undang-undang tersebut tercantum dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada pasal 293 yang berbunyi:
“(1). Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
(2) Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, maka pidananya dapat ditambah dengan 1/3 (satu per tiga).
Ahli hukum pidana, Barda Nawawi Arief, yang ikut menyusun beleid itu mengatakan, pasal tersebut merupakan perluasan dari Pasal 162 KUHP yang mengatur larangan membantu tindak pidana, yang berbunyi "Barang siapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menawarkan untuk memberi keterangan, kesempatan, atau sarana guna melakukan tindak pidana, diancam dengan pidana penjara paling lama 9 bulan atau pidana denda paling banyak Rp 400.500."
Meskipun Eva Sundari menilai hukum akan sulit membuktikan seseorang memiliki kekuatan santet sehingga pasal ini rawan kriminalisasi, pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, Andi Hamzah, pembuktiannya tidak perlu membawa dukun santet melainkan cukup dengan saksi yang mendengar bahwa seseorang menyatakan dirinya mampu untuk melakukan santet.
Pro dan kontra delik santet sudah muncul sejak 1990an, namun pasal tersebut baru disetujui pada 17 November 2016. Konon untuk mendalami pasal santet, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melakukan studi banding ke Belanda, Inggris, Prancis, dan Rusia.
“(1). Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
(2) Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, maka pidananya dapat ditambah dengan 1/3 (satu per tiga).
Ahli hukum pidana, Barda Nawawi Arief, yang ikut menyusun beleid itu mengatakan, pasal tersebut merupakan perluasan dari Pasal 162 KUHP yang mengatur larangan membantu tindak pidana, yang berbunyi "Barang siapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menawarkan untuk memberi keterangan, kesempatan, atau sarana guna melakukan tindak pidana, diancam dengan pidana penjara paling lama 9 bulan atau pidana denda paling banyak Rp 400.500."
Meskipun Eva Sundari menilai hukum akan sulit membuktikan seseorang memiliki kekuatan santet sehingga pasal ini rawan kriminalisasi, pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, Andi Hamzah, pembuktiannya tidak perlu membawa dukun santet melainkan cukup dengan saksi yang mendengar bahwa seseorang menyatakan dirinya mampu untuk melakukan santet.
Pro dan kontra delik santet sudah muncul sejak 1990an, namun pasal tersebut baru disetujui pada 17 November 2016. Konon untuk mendalami pasal santet, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melakukan studi banding ke Belanda, Inggris, Prancis, dan Rusia.